Audio Video Kajian Islam: Inilah 3 Kunci Kesuksesan Dakwah Walisongo di Nusantara
Sejarah
Islam di Indonesia dimulai ketika masuknya para pedagang muslim dari
Gujarat dan negara-negara di Timur Tengah. Ketika Islam datang ke
Nusantara terutama di Pulau Jawa, para juru dakwah membawa risalah agama
ini dan menyampaikannya kepada masyarakat yang notabene masih memiliki
tradisi yang cukup kental. Segala macam tradisi yang ada di pulau Jawa
baik itu tradisi yang sesuai ataupun tradisi yang menyimpang berhasil
dihadapi para pendakwah khususnya wali songo sehingga risalah nabi dapat
dirasakan sampai sekarang.
Tradisi masyarakat Jawa yang baik tentu
ukurannya adalah sesuatu yang tidak haram. Cara dan tujuannya baik
sesuai dengan payung hukum agama Islam. Sebagai contoh, hampir semua
masjid atau musholla se-Indonesia memiliki Mihrab. Mihrab adalah tempat
berongga di dalam masjid atau musholla yang berfungsi sebagai tempat
pengimaman sholat dan penanda arah kiblat. Mihrab seperti itu tidak
satupun ditemui dan dicontohkan di zaman Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Namun, selama cara dan tujuannya baik, hal tersebut juga
menjadi tradisi yang baik pula. Bayangkan apabila dalam suatu perjalanan
ketika memasuki masjid atau musholla yang tidak ada mihrabnya, sudah
tentu kita akan kesulitan menentukan arah kiblat. Tradisi inilah yang
diwarisi dan dipengaruhi oleh agama asli pulau Jawa, yakni Agama
Kapitayan. Karena Konsep keyakinan mereka bahwa tuhan itu berada di
ruang hampa, maka Pemeluk agama Kpitayan beribadah di ruang-ruang yang
berongga seperti goa dan sanggar. Tradisi yang baik ini akhirnya
diteruskan oleh para wali di Jawa dengan menggantinya dengan sebutan
Langgar.
Selain tradisi yang baik dan tidak
dilarang oleh syariat agama Islam, masyarakat asli Jawa juga memiliki
tradisi yang tidak sesuai syariat Islam. Namun, tidak serta merta para
wali songo menolak hal tersebut. Tidak secara kaku dan terang-terangan
mereka sebut “Ini musyrik”, “Ini haram” dan “Ini Bid’ah”. Setelah dikaji
lebih lanjut, para wali songo menggunakan tiga pendekatan yang terbukti
ampuh merubah tradisi-tradisi masyarakat Jawa bahkan merubahnya dengan
nuansa Islam. Tiga kunci kesuksesan itu yakni Amputasi, Asimilasi dan
Minimalisasi.
Amputasi yaitu memotong atau
menghilangkan bagian tertentu. Dalam hal ini tradisi yang yang
menyimpang tersebut harus dihilangkan, meskipun metode yang dijalankan
para Wali secara bertahap-tahap. Sebelum Islam datang, masyarakat Jawa
kebanyakan menjadikan batu dan pohon sebagai sesembahannya. Sebagaimana
masyarakat jahiliyah yang menyembah berhala pada zaman nabi. Para wali
songo meniru dan menggunakan metode Rosulullah untuk memberantas tradisi
ini. Tidak bisa ditolelir lagi bahwa tradisi semacam itu harus dibabat
habis.
Kunci dakwah yang kedua adalah
Asimilasi. Cara ini menjadi kunci terbesar keberhasilan dakwah Islam di
manapun berada. Asimilasi artinya membelokkan dari segala sesuatu yang
tidak baik menjadi baik. Mereka masyarakat Jawa yang masih kukuh dengan
tradisi yang tidak sesuai agama Islam secara bertahap, tanpa sadar dan
sedikit-demi sedikit diubah tradisinya sesuai syariat Islam. Ketika
masa-masa panen, orang orang Jawa sebelumnya memiliki tradisi larung
sesaji ke laut atau sungai. Sesaji itu mereka persembahkan ke leluhurnya
yang sudah meninggal. Ketika menghadapi hal semacam ini, para wali
songo lantas tidak menyalahkannya secara terang-terangan. Secara
bertahap mereka membelokkan tradisi tersebut dengan menjadikan sesaji
tersebut untuk tidak dilarung ke laut namun dijadikannya tumpeng besar.
Mereka mengarak tumpeng tersebut dan mengundang warga sekitar untuk
diajak makan bersama. Bentuk rasa syukur inilah yang sesuai dengan
syariat Islam. Sesuai dengan hadits nabi tentang sedeqah: “Sedeqah itu
bisa memadamkan kemurkaan Allah subhanahu wata’ala”.
Minimalisasi adalah metode yang juga
berpengaruh besar terhadap tradisi masyarakat jawa kala itu.
Minimalisasi artinya mengurangi dampak suatu tradisi yang buruk dan
sulit dihilangkan. Sebagai contoh, saat ini masih terdapat tradisi
masyarakat pesisir melarung kepala kerbau ke laut ketika waktu-waktu
tertentu. Ini merupakan proses dakwah yang belum selesai dan masih perlu
terus diminimalisasi oleh para pendakwah saat ini. Asal mula dari
tradisi tersebut adalah tradisi melarung kepala gadis perawan. Kemudian
para wali songo meminimalisasi hal tersebut dengan menggantinya dengan
kepala kerbau. Cara dakwah seperti ini juga pernah dilakukan oleh
ulama’-ulama terdahulu.
Diceritakan ketika Ibnu Taimiyah (ulama
rujukan Wahabi) bertemu dengan sekelompok pemuda yang sedang pesta
miras, salah satu teman Beliau menyangsikan mengapa ia membiarkannya.
Lalu Beliau menjawab, “Biarkan! Allah mengharamkan minuman keras karena
minuman itu bisa melalaikan mereka untuk berdzikir dan beribadah kepada
Allah subhanahu wata’ala. Sedangkan orang-orang ini meminum minuman
keras agar ia terlena dan melalaikan untuk membunuh dan merampok harta
orang. Dari pada mereka membunuh dan merampok, masih sedikit lebih baik
untuk minum minuman keras”. Inilah proses dakwah yang belum selesai dan
perlu diminimalisasikan hingga hilang dan tergantikan oleh tradisi yang
sesuai syariat.
Untuk selengkapnya, silahkan simak audio
video kajian Islam tentang Dakwah Ala Walisongo yang disampaikan
oleh Ustadz H. Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I. dalam acara
rutinan Majlis Maulid Wat Ta’lim Riyadlul Jannah bertempat di Kediaman
Bapak Abd. Rouf Desa Sumbermanjing Wetan Kec. Sumbermanjing Wetan Kab.
Malang, pada 05 April 2014.
MP3 Kajian Islam Dakwah Ala Wali Songo Oleh Ustadz H. Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.
Download MP3(Cara Download: Klik kanan link Download MP3, lalu pilih Save Target As… atau Save Link As…)
Video Kajian Islam Dakwah Ala Wali Songo Oleh Ustadz H. Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar