WALISONGO
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14.
Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah,
dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan
mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Daftar isi
- 1 Arti Walisongo
- 2 Nama para Walisongo
- 2.1 Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
- 2.2 Sunan Ampel (Raden Rahmat)
- 2.3 Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
- 2.4 Sunan Drajat
- 2.5 Sunan Kudus
- 2.6 Sunan Giri
- 2.7 Sunan Kalijaga
- 2.8 Sunan Muria (Raden Umar Said)
- 2.9 Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
- 3 Tokoh pendahulu Walisongo
- 4 Asal usul Walisongo
- 5 Sumber tertulis tentang Walisongo
- 6 Lihat pula
- 7 Pranala luar
- 8 Referensi
Arti Walisongo
Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu
tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo.
Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada
sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari
kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi
menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa,
yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah
sebuah majelis dakwah
yang pertama kali didirikan oleh Sunan
Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi
(808 Hijriah).[1] Para
Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan
dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan,
kesenian,
kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Nama para Walisongo
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat
sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal,
yaitu:
|
|
|
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22
dari Nabi
Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid
Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana
Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang
kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang
terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid
Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain
Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad
Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid
Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad
Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal
Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib,
binti Nabi Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad
ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya
Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam
cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Isteri Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti
Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1),
memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam
binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur,
dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki
2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik
Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden
Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman
Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera
Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali
pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok
tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa
yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati
masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun
pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim
wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22
dari Nabi
Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin
Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa
Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin
Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid
Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali
Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid
Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin
Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin
Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh
para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan
merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah
dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban
bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning.
Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti
Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan
Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi
Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden
Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel
dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid
Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan
keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan
Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak
berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama
Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo
Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa
ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra
bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut
G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung
ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di
daerah Tuban, Jawa Timur.
Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan
keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Nama asli dari sunan drajat adalah
masih munat. masih munat nantinya terkenal dengan nama sunan drajat. Nama
sewaktu masih kecil adalah Raden Qasim. Sunan drajat terkenal juga dengan
kegiatan sosialnya. Dialah wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan
orang sakit. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri
adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada
masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan
kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan
Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa
Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan
sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium
Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat pada 1522.
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan
Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang
bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus
adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin
Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin
Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih
bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi
bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang
wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan
Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid
Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum
penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan
Prawoto penguasa Demak, dan Arya
Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal
ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam.
Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana
Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari
Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri
Kedaton, Gresik;
yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan
Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya
yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah
Lombok dan Bima.
Sunan Kalijaga
Lukisan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang
bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur
(Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan
kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang
kulit dan tembang suluk.
Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap
sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah
dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti
Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.
Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan
Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi
Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan
Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Lukisan Sunan Gunung Jati
Gapura Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah
putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain
Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak
dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati
mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya
kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan
kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi
cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Tokoh pendahulu Walisongo
Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad
Jumadil Kubra / Husain Jamaluddin al akbar bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah
bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin
Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad
Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad
Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra
binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain
Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong
II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita
rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang,
Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui
yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[3] [4]
Asal usul Walisongo
Teori keturunan Hadramaut
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo
adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun
tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh
daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa
argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah
Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut
(Yaman):
- L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[5] mengatakan:
”Adapun hasil
nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid
Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja
Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku
lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak
meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid
Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
- van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad
ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu
sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul
dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka
terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya
pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat
keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam
(Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa
kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan
Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van
den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan
atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh
lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya,
yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al
Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut
lainnya.
- Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
- Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
- Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Teori keturunan Cina (Hui)
Sejarawan Slamet
Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa
(1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Muslim.[6]
Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa
Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru
sempat melarang terbitnya buku tersebut.[butuh rujukan]
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa
Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan
hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui
sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan
Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang
bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga
sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai
sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck
Hurgronje dan L.W.C. van den Berg.
Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia
yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun
menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak
dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th.
Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th
Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan
pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain,
seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap
dalam tulisan Parlindungan [7].
Sumber tertulis tentang Walisongo
- Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
- Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
- Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Lihat pula
- Mazhab Syafi'i
- Suku Arab-Indonesia
- Syekh Muhammad Shahib Mirbath
- Sunan Bayat
- Ki Ageng Pandan Arang
- Syekh Siti Jenar
- Resident Poortman
- Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini
- Majelis Dakwah Walisongo
Pranala luar
- (Inggris) Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam Online publication of Martin van Bruinessen, by Universiteit Utrecht
- (Indonesia) Syekh Hasanuddin: Pendiri Pesantren Pertama di Jawa Barat Republika Online: Jumat, 28 April 2006
Referensi
1.
^ Dahlan, KH.
Mohammad. Haul Sunan Ampel Ke-555, Penerbit Yayasan Makam Sunan Ampel,
hlm 1-2, Surabaya, 1979.
2.
^ Meinsma, J.J.,
1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647.
S'Gravenhage.
3.
^ Istilah maqam,
selain berarti kubur juga dapat berarti tempat menetap atau tempat yang pernah
dikunjungi seorang tokoh; contohnya seperti makam Nabi
Ibrahim di Masjidil Haram.
5.
^ van den Berg,
Lodewijk Willem Christiaan, 1886. ''Le Hadhramout et les colonies arabes
dans l'archipel Indien. Impr. du gouvernement, Batavia.
6.
^ Muljana,
Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara
Islam di Nusantara. LkiS. hlm. xxvi + 302 hlm. ISBN 9799798451163.
7.
^ Russell Jones,
review
on Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries written by
H. J. de Graaf; Th. G. Th. Pigeaud; M. C. Ricklefs, Bulletin of the School of
Oriental and African Studies, University of London, Vol. 50, No. 2. (1987),
hlm. 423-424.





Tidak ada komentar:
Posting Komentar