Kamis, 27 November 2014

Perlawanan Menghadapi Keserakahan Kolonialist

A.    PERLAWANAN GOA
          Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap kolonial Belanda pada tahun 1825 sampai 1830  sangat terkait dengan nama suatu tempat, yaitu Goa Selarong. Goa Selarong merupakan tempat dimana pasukan Diponegoro dan para pengikutnya melarikan diri dari Belanda, selain sebagai persembunyian tempat ini juga dijadikan markas bagi pasukan Diponegoro.
          Goa Selarong adalah saksi sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro dan laskarnya yang digunakan sebagai markas gerilya melawan penjajahan Belanda. Dari area goa inilah Pangeran Diponegoro menyusun taktik dan berdiskusi dengan para pengikutnya dalam upaya melakukan serangan kepada Belanda. Selama bermarkas di Goa Selarong, laskar Pangeran Diponegoro telah diserang tiga kali oleh Belanda, yaitu pada tanggal 25 Juli, 3 Oktober, dan 4 Oktober 1825. Peperangan yang terjadi antara Laskar Pangeran Diponegoro dan Belanda itu dikenal dengan nama Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun, yaitu pada tahun 1825 - 1830.
B.  Goa Selarong
            Goa Selarong terletak di Dukuh Kembang Putihan, Kelurahan Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul. Goa Selarong ini letaknya kurang lebih 5 km sebelah Barat Laut kota Bantul. Sebelum bernama Goa Selarong goa ini bernama Goa Secang, hal ini disebabkan dahulu dipergunakan Kyai Secang untuk bertapa. Kemudian bernama Goa Selarong sebab berasal dari kata sila-rong. Pada waktu itu Pangeran Diponegoro bersemedi maupun mengatur strategi perang, beliau sila (bersila) di dalam goa, yang artinya bersila di goa. Goa Selarong jumlahnya ada dua yaitu Goa Kakung dan Goa Putri.
            Goa Kakung berukuran 3 × 2 × 1,5 m. Goa Kakung ini merupakan tempat persembunyian dan mengatur strategi perang bagi Pangeran Diponegoro sewaktu Selarong  menjadi markas besar pasukan Diponegoro melawan Belanda. Goa yang kedua adalah Goa Putri, letaknya kira-kira 100 m sebelah kiri Goa Kakung. Goa Putri itu lebih luas dan panjang jika dibandingkan dengan Goa Kakung. Ukurannya 12 × 10 × 1,5 m.
            Pada masa perlawanan Pangeran Diponegoro, Goa Putri dipergunakan sebagai tempat persembunyian para putri dan istri pemimpin pasukan Diponegoro. Goa Selarong letaknya di atas perbukitan padas sehingga sangat strategis dan menguntungkan untuk pertahanan serta mengatur strategi perang. Hal tersebut tentu saja merupakan modal yang sangat penting untuk mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda. Di Goa Selarong ini dulu banyak diketemukan senjata yang pernah dipergunakan para prajurit pasukan Diponegoro seperti keris, tombak, pedang dan sebagainya. Sekarang senjata-senjata tersebut disimpan di Museum Monumen Pangeran Diponegoro Tegalrejo.
            Pada waktu dilaksanakan peringatan 100 tahun meninggalnya Pangeran Diponegoro tanggal 8 Januari 1995, Goa Selarong mulai dipagar oleh pemerintah. Adapun gunanya adalah untuk mengenang peristiwa bersejarah dan perjuangan Pangeran Diponegoro beserta rakyat melawan penjajah Belanda, memberikan informasi dan pengetahuan pada masyarakat tentang perjuangan Pangeran Diponegoro dan untuk obyek wisata. Atas dasar pengertian tersebut maka dengan dipugarnya Goa Selarong diharapkan supaya generasi muda dan masyarakat lebih mengenal dan menghayati perjuangan untuk dilestarikan dan sebagai sumber daya spiritual bagi pembangunan nasional
C.   Uraian Tentang Peristiwa Sejarah
            Sebagai kita ketahui bahwa pada permulaan abad ke-19 pengaruh Belanda pada Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta makin kuat. Pada masa pemerintahan Deandels terdapat usaha mencampuri urusan tatacara di Kraton. Misalnya, Deandels menghendaki persamaan derajat dengan Sunan atau Sultan pada waktu upacara kunjungan resmi yang diadakan di kraton. Dalam upacara tersebut pembesar Belanda supaya diijinkan duduk sejajar dengan Raja dan sajian sirih supaya dihapus. Raffles meneruskan usaha yang sama terhadap kehidupan kraton. Keadaan yang demikian  menimbulkan rasa kecewa dan tidak senang diantara golongan bangsawan. Mereka menganggap bahwa martabat kerajaan menjadi merosot akibat tindakan Belanda tersebut. Tambahan lagi setelah kebiasaan minum-minuman keras beredar di kalangan bangsawan atau rakyat umum. Kekecewaan dan kekhawatiran di kalangan golongan alim ulama di kraton makin meningkat. Kebiasaan yang timbul dari pergaulan dengan orang barat semacam ini dianggap membahayakan kehidupan agama Sultan dimana golongan alim ulama tidak lagi dipandang sebagai Khalifah.
            Sebelum Pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan Belanda situasi kraton selalu kacau akibat penggantian tahta dari Sultan Sepuh dengan Sultan Raja kemudian kembali lagi ketangan Sultan Sepuh. Timbullah intrik-intrik di dalam kraton yang dilakukan oleh masing-masing pendukung sultan tersebut.
Kasus pengangkatan Wali Sultan Hamengku Buwono V sempat pula menimbulkan perselisihan di kalangan kraton. Disamping itu masih ditambah pula kasus persekutuan jahat antara Residen Belanda di Yogyakarta De Salis maupun penggantinya Smissaert dengan Patih Danurejo IV dan Raden Tumenggung Secodiningrat yang bermaksud menyingkirkan Pangeran Diponegoro dan merongrong kekuasaan Sultan. Hal itu tampak jelas dalam masalah perwalian sultan. Pangeran Diponegoro selalu dikesampingkan dengan cara tidak pernah diajak memecahkan persoalan-persoalan kraton.
            Kecuali itu legitimasi Belanda terhadap Patih Danurejo menyebabkan Ia berpengaruh besar atas sultan. Hal ini terbukti waktu menetapkan pajak-pajak bara dengan alasan menutup kas kerajaan. Padahal masalah tersebut ditentang keras oleh Pangeran Diponegoro. Pertentangan intern bangsawan maupun antara golongan masyarakat mengundang intervensi Belanda. Maka timbullah kelompok pro dan kontra terhadap kekuasaan penjajah baik dikalangan penguasa bangsawan maupun rakyat.
            Padahal kehidupan rakyat benar-benar resah dan menderita akibat sistem ekonomi koloni maupun pungutan berbagai pajak, rodi serta paksaan-paksaan lainnya. Keadaan tersebut menyebabkan rakyat mengharap datangnya semacam mesias atau ratu adil yang membebaskan mereka dari penderitaan dengan pemimpin kearah perbaikan, rakyat melihat Pangeran Diponegoro sebagai ratu adil sehingga mendengar beliau melawan Belanda, rakyat spontan bangkit serentak mengikuti pemimpinnya. Lebih-lebih lagi ajakan dari para ulama mendapat sambutan karena tekanan hidup, sikap anti terhadap kekuasaan asing serta terdorong oleh keyakinan agama. Ikatan tradisional dalam masyarakat untuk ketaatan pada atasan dan pemimpin agama menjadi faktor terpenuhinya sikap tersebut.
            Kebencian meningkat menjadi kemarahan ketika Belanda mencoba membuat jalan melalui tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa meminta ijin atau membicarakan dahulu dengan beliau. Sebelum jalan mulai dikerjakan dipasang tonggak-tonggak. Oleh orang-orang suruhan Pangeran Diponegoro tonggak-tonggak tadi dicabuti, tindakan ini membuat Belanda marah.
            Kemudian Belanda mengutus Pangeran Mangkubumi memanggil Pangeran Diponegoro untuk datang ke kraton. Akan tetapi Pangeran Mangkubumi sendiri tidak mau kembali ke kraton. Belanda mengutus lagi pangeran yang lain untuk memanggil Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi untuk datang ke kraton. Akan tetapi sebelum utusan tersebut kembali, Belanda telah datang ke Tegalrejo membakar dan menembaki rumah Pangeran Diponegoro. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Juli 1825. Kemudian Pangeran Diponegoro serta Pangeran Mangkubumi dan keluarganya meloloskan diri naik kuda dengan merusak pagar tembok yang terletak disebelah barat pendopo Tegalrejo menuju Selarong. Dengan demikian mulailah perlawanan Pangeran Diponegoro pada tanggal 20 Juli 1825.
            Pangeran Diponegoro menjadikan Selarong sebagai pusat perjuangan dan mengatur siasat perlawanan. Pengikutnya makin bertambah banyak. Para bangsawan, rakyat berduyun-duyun datang ke Selarong untuk menggabungkan diri. Kyai Mojo seorang ulama terkenal dari Surakarta juga menggabungkan diri. Demikian juga Basah Sentot Prawirodirjo ikut membantu perlawanan Diponegoro terhadap Belanda. Semboyan perang Sabil dikumandangkan ke segenap pengikutnya baik yang ada di Selarong maupun yang ada di daerah lain. Bahkan seorang Kyai bernama Hasan Basri diutus Pangeran Diponegoro untuk mengabarkan Perang Sabil di daerah Kedu.
            Pangeran Adinegoro adik Pangeran Diponegoro yang ada di Yogyakarta menyusul ke Selarong dengan membawa 200 prajurit sebagai bantuan. Di Selarong inilah Pangeran Diponegoro membagi tugas untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pangeran Adinegoro diangkat sebagai Patih dengan gelar Pangeran Suryongiogo, kemudian Pangeran Suryongiogo ini ditugaskan mengadakan perlawanan terhadap Belanda di daerah sekitar Yogyakarta. Pangeran Ontowiryo dengan di dampingi Tumenggung Dani Kusumo diberi tugas melakukan perlawanan di daerah Bagelen. Perlu diketahui bahwa Pangeran Ontowiryo ini adalah putra Pangeran Diponegoro yang kemudian bergelar juga Pangeran Diponegoro. Pangeran Adiwinoto didampingi Tumenggung Joyomustopo ditugaskan memimpin perlawanan di daerah Kowanu. Pangeran Adisuryo dan Pangeran Sumonegoro ditugaskan mengadakan perlawanan di daerah Kulonprogo. Sedangkan di daerah sebelah utara Yogyakarta pimpinan perlawanan diserahkan kepada Pangeran Joyokusumo dan Tumenggung Surodilogo. Pimpinan perlawanan di daerah Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Tumenggung Suryonegoro dan Suronegoro, Somodinigrat serta Joyowinoto.
            Pertahanan markas besar Selarong dan sekitarnya diserahkan kepada Pangeran Joyonegoro, Pangeran Suryodiningrat dan Pangeran Joyowinoto. Adapun perlawanan di Gunungkidul dipimpin oleh Pangeran Singosari dan Pangeran Warsokusumo. Perlawanan di daerah Pajang di serahkan kepada Tumenggung Mertoloyo Wiryokusumo, Surdorejo. Perlawanan di daerah Sukowati dipimin oleh Kartodirjo. Sedangkan Bupati Mangunegoro memimpin perlawanan di daerah Madiun, Magetan, Kediri dan sekitarnya.
            Insiden Teglrejo dengan cepat sampai ke Batavia. Gubernur Jendral Van Den Capellen menugaskan Jendral De Kock untuk mengatasi perlawanan Diponegoro. Jenderal De Kock tiba di Semarang pada tanggal 29 Juli 1825 dan tiba di keraton Surakarta tanggal 30 Juli 1825. Sri Sultan Paku Buwono bersedia membantu Jenderal De Kock untuk memadamkan perlawanan Pangeran Diponegoro.
            Untuk memadamkan perlawanan Pangeran Diponegoro di sekitar Yogyakarta Belanda mendatangkan pasukan dari Semarang. Sesampainya di desa Logorok bala bantuan yang dipimpin Kapten Keemsius diserang oleh pasukan Pangeran Dionegoro di bawah pimpinan Mulyosentiko. Sebagian besar pasukan Belanda yang berjumlah 200 orang meninggal, senjatanya dirampas beserta uang 50.000 Gulden yang akan disampaikan kepada Residen Yogyakarta. Barang rampasan ini kemudian dibawa ke Selarong. Kemenangan pasukan Pangeran Diponegoro ini terjadi pada akhir Juli 1825.
            Mendengar kemenangan pasukan Pangeran Diponegoro di Logorok membuat rakyat makin bersemangat menentang Belanda. Keluarga Keraton Yogyakarta menjadi ketakutan lalu berlindung di dalam benteng Belanda. Banyak alim ulama keraton meninggalkan keraton danikut berjuang dengan pasukan Pangeran Diponegoro.
            Belanda berusaha untuk mengadakan serangan balasan. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal De Kock mengadakan serangan besar-besaran ke markas besar Selarong. Serangan besar-besaran ke Selarong ini dilaksanakan pada tanggal 2 dan 4 Oktober 1825, namun Selarong sudah kosong ditinggalkan oleh Pangeran Diponegoro. Setiap kali Selarong di serang Belanda, Pangeran Diponegoro dan pengikutnya bersembunyi di Goa Selarong. Begitu Belanda meninggalkan Selarong maka Pangeran Diponegoro kembali lagi ke Selarong. Hal ini disebabkan Pangeran Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya dan sedapat mungkin menghindari perang besar-besaran. Demikianlah sampai beberapa kali Belanda selalu gagal untuk menangkap dan mengalahkan Pangeran Diponegoro.
            Oleh karena markas besar Selarong tidak aman lagi, maka Pangeran Diponegoro memindahkan markas besarnya ke Dekso. Meskipun Pangeran Diponegoro masih menggunakan Selarong sebagai benteng pertahanan. Pernah Selarong diseran dan diduduki oleh pasukan Mangkunegara. Akan tetapi ini tidak lama sebab pada tanggal 4 Agustus 1826 Selatong berhasil direbut oleh pasukan Pinilih dan pasukan Mulkyo.
D. Penyerangan Belanda Terhadap Selarong
            Selama Pangeran Diponegoro bermarkas di Selarong mendapat serangan dari pasukan Belanda sebanyak 3 kali :
Pertama :
Tanggal 25 Juli 1825 oleh pasukan yang dipimpin Kapten Bouwens. Serangan ini merupakan balasan terhadap penyergapan yang terjadi di desa Logorok dekat desa Pisangan. Serangan ini tidak membawa hasil karena Selarong di kosongkan.
Kedua :
Pada akhir September, serangan besar-besaran dari pasukan Belanda ini yang dipimpin oleh Mayor Sellewijn dan Letnan Achanbach. Di samping itu dibantu oleh pasukan-pasukan Jawa dan Madura yang dipimpin oleh Panembahan Sumenep, Pangeran Purbaya, Pangeran Harya Mataram, Pangeran Suryadinigrat, Pangeran Suryaningprang dan lain-lain. Sampai di Selarong ternyata Selarong telah dikosongkan. Setelah tahu kosong, maka tempat tersebut ditinggalkan oleh Belanda. Pada hari berikutnya, tanggal 3 Oktober 1825, Pangeran Diponegoro dan pasukannya muncul lagi di Selarong.
Ketiga :
Serangan ketiga tanggal 4 Oktober setelah pimpinan pasukan Belanda diberitahu kalau Pangeran Diponegoro kembali ke Selarong. Akan tetapi, serangan Belanda ini juga tidak berhasil, gagal, karena ketika Belanda menyerang ke Selarong, ternyata telah dikosongkan oleh Pangeran Diponegoro dan pasukannya yang telah mundur kembali ke Yogyakarta.
            Pangeran Diponegoro melaksanakan siasat perang gerilya, tidak melakukan secara frontal. Jika Belnada ke Selarong, Selarong dikosongkan, jika Belanda pergi Pangeran Diponegoro ke Selarong lagi. Jika Belanda menyerang, Pangeran Diponegoro bersembunyi. Persembunyiannya di goa-goa pegunungan sebelah barat desa Selarong di sebelah barat Sungai Bedog. Pimpinan pasukan Belanda tidak mengetahui tempat persembunyian itu.                                  
E.     RAKYAT RIAU ANGKAT SENJATA
Jumat, 10 Agustus 2001 Hanya Angkat Senjata yang Belum Dilakukan.  MESKIPUN tuntutan masyarakat Riau terhadap perpanjangan kontrak bagi   hasil dari perpanjangan pengelolaan ladang minyak Blok Coastal Plain   Pekanbaru (CPP) dipenuhi dengan berbagai variasi, hak-hak daerah ini   untuk mendapatkan kekayaan alamnya itu masih mengandung berbagai   pertanyaan. Sejauh mana komitmen dari pengelolaan Blok CPP dapat   diwujudkan, masih memerlukan pembuktian. Belum lagi berkaitan dengan   bagaimana pengelolaan ladang-ladang minyak yang lain, yang malahan   lebih potensial dibandingkan Blok CPP.
  
   Sebaliknya, dipenuhinya tuntutan masyarakat Riau sehingga mereka yang   sebelumnya menolak perpanjangan kontrak satu tahun antara Pertamina   dan PT Caltex Pacific Indonesia (CPI), dapat menerima kebijakan   tersebut, harus sama-sama dihargai. Sikap menambah butir kontrak bagi   hasil bagi sebuah perjanjian yang sudah ditandatangani dalam bisnis   internasional semacam pengelolaan Blok CPP, demi memikirkan keutuhan bersama terutama hubungan pusat-daerah yang sekaligus menyangkut keamanan regional, tentulah patut dicatat secara khusus.
  
   Seperti diketahui, perpanjangan kontrak bagi hasil untuk mengelola   ladang minyak Blok Costal Plain Pekanbaru (CPP) antara Pertamina dan   PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) ditolak berbagai komponen masyarakat   di Riau. Pasalnya, perpanjangan kontrak ini tidak mencantumkan tentang   kompensasi yang diharapkan dalam masa perpanjangan kontrak setahun   tersebut yakni pendapatan Riau sebesar 30 persen dari keuntungan   bersih atau senilai 27 juta dollar AS. Selain itu tidak dinyatakan tentang penempatan tenaga lokal dalam pengelolaan Blok CPP.
  
   Akibat tidak aspiratif tersebut, Presiden Megawati Soekarnoputri diberi waktu 3 x 24 jam untuk meninjau kembali persetujuannya terhadap   perpanjangan kontrak bagi hasil di Blok CPP itu. Jika tidak dilakukan, aktivitas Blok CPP segera diblokir. Untuk aksi tersebut, Drs Al azhar MA yang juga Ketua Badan Pekerja Kongres Rakyat Riau II dengan tujuan  mencapai Riau merdeka secara damai, ditugaskan untuk membentuk Aksi  Riau untuk Kuasai (Aruk) Blok CPP yang memblokir ladang minyak itu tanggal 9 Agustus 2001.
  
   Aksi yang menyebabkan Riau dalam siaga satu bahkan sampai mendatangkan bantuan keamanan dari Polda Sumbar dan Sumut, urung dilaksanakan.Batas ultimatum 3 x 24 jam itu dijawab dengan kesepakatan hitam di atas putih di antara pihak-pihak yang terkait dengan Blok CPP seperti CPI, Pertamina, dan delegasi Riau. Kompensasi senilai Rp 27 juta dollar AS dituangkan dalam berbagai hal seperti penyiapan pengelolaan Blok CPP oleh Riau, pengembangan masyarakat, dan biaya operasional   Blok CPP.
  
   BLOK CPP merupakan salah satu ladang minyak di Riau yang terletak sekitar 175 kilometer dari Pekanbaru. Produksinya bisa mencapai 70.000 barrel per hari atau tidak sampai 10 persen dari produksi minyak yang dikelola CPI di Riau yang mencapai 750.000 barrel per hari. Artinya, masih banyak ladang minyak lain yang bahkan memiliki hasil lebih  besar.
  
   "Ladang-ladang minyak selain Blok CPP pun akan diupayakan dikelola oleh Riau sebagaimana halnya Blok CPP," kata Ketua Badan Pekerja (BP) Kongres Rakyat Riau (KRR) II, Al azhar. Ini sejalan dengan amanat KRR  II yang dilaksanakan awal tahun 2000 tersebut yang menyebutkan bahwa kekayaan alam Riau untuk menyejahterakan rakyat Riau. KRR II itu sendiri juga menugaskan agar BP KRR II mencapai Riau merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara damai.
  
   Kalau baru Blok CPP yang menghebohkan, hal itu harus dapat dipahami bahwa baru di ladang minyak itu saja yang masa kontrak bagi hasilnya berakhir dalam waktu dekat. Masa akhir kontrak kerja di ladang-ladang minyak lain masih lama, bahkan ada yang masih 20 tahun lagi. Kontrak kerja bagi hasil Blok Rokan misalnya, akan berakhir di atas tahun 2010.
      Mulai digarap sejak sebelum Perang Dunia II, untuk memperoleh hasil minyak termasuk pengelolaan ladang minyak Blok Costal Plain Pekanbaru (CPP), sudah dilakukan masyarakat Riau dengan cara demokratis dan santun. Dilaksanakan berkali-kali dengan berbagai pendekatan yang dapat ditelesuri sejak tahun 1950-an, ternyata hanya angkat senjata saja yang belum dilakukan masyarakat Riau untuk memperoleh hasil  minyak sekaligus mengelola ladang minyak di daerahnya sendiri. Ini juga terjadi dalam memperjuangkan hak-hak dari kekayaan alam Riau yang lain termasuk tanah.
      Khusus perjuangan mengenai minyak, misalnya, pada tahun 1959, setelah Provinsi Riau terbentuk-terpisah dari Provinsi Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi-suara itu dikumandangkan oleh Badan Penasihat  Gubernur Riau melalui pidato anggota lembaga tersebut, DM Yanur. Ini diungkapkan dalam Konferensi Daerah (Konferda) yang dihadiri Menteri Dalam Negeri waktu itu, Sanusi Hardjadinata. Hal serupa juga dilakukan  pada tahun 1970, ketika Riau dipimpin Arifin Ahmad (almarhum).
      Paling baru, memang perjuangan untuk memperoleh pengelolaan Blok CPP yang masa kontrak bagi hasilnya berakhir pada 8 Agustus 2001 ini.  Berbagai komponen masyarakat, termasuk pihak eksekutif dan legislatif, membentuk tim memperjuangkan hal itu. Berkali-kali mereka mendatangai pemerintah pusat yang ternyata tidak direspon dengan baik.
      Berbagai sistem pengelolaan yang diinginkan sejumlah komponen masyarakat Riau, justru menjadi alasan pemerintah pusat untuk tidak memberikan apa-apa dari perpanjangan kontrak Blok CPP. Ini justru menimbulkan kelucuan dan sikap yang tidak tahu menghargai demokrasi karena pemerintah pusat lebih mengutamakan teknik, bukan esensi persoalan. Hal pokok yang dituntut oleh berbagai komponen di Riau adalah bagaimana pengelolaan Blok CPP itu berada di tangan Riau, sementara tekniknya yang antara lain menyangkut dengan persentase dan sebagainya itu, hanyalah merupakan suatu elemen yang dapat diubah dan  ditukar tambah.
      "SELAMA ini masyarakat Riau sangat kooperatif dalam berbagai hal, termasuk dalam memperjuangkan hal-hak Riau terhadap minyak seperti  juga yang diperlihatkan dalam memperoleh hak mengelola Blok CPP itu,"  kata Ketua DPRD Riau, drh Chaidir MM. Seperti juga Gubernur Saleh  Djasit SH, Chaidir mengharapkan agar perjuangan memperoleh hak dari minyak beserta pengelolaannya tidak dilakukan secara anarki, apa lagi  sampai mengangkat senjata.
      Persoalannya, ujar Saleh, tindakan anarki akan menyebabkan daerah Riau yang selama ini relatif aman, akan dicap sebagai daerah yang kacau. Dengan demikian, tentu saja hal itu berdampak pada penanaman modal  atau usaha lain. "Kalau Riau tidak aman, pihak mana pula yang dapat diharapkan menanamkan investasinya ke daerah ini. Investor yang ada bisa-bisa kabur dari Riau, padahal usaha mereka lebih besar dari usaha minyak," kata Saleh.
      Perkataan orang nomor satu di Riau itu, barangkali tidak ada salahnya. Selain CPI dengan usahanya sebagai penambang minyak utama di Riau bahkan di Indonesia, berbagai perusahaan bercokol di provinsi tanah  Melayu ini. Ada kilang minyak Puteri Tujuh di Dumai yang menghasilkan Bahan Bakar Minyak (BBM) cukup signifikan bagi penyediaan BBM nasional.
      Daerah ini bahkan memiliki dua pabrik kertas yakni PT Indah Kiat Pulp and Paper dan PT Riau Andalan Pulp and Paper. Belum lagi perusahaan kayu semacam plywood yang menggiurkan. Jika ditambah dengan usaha-usaha di Batam, berbagai industri di Provinsi Riau, memperlihatkan wajah yang begitu cemerlang. Kekayaan alamnya yang menyimpan apa saja termasuk emas dan batu bara, ditambah kondisi  geografisnya di tengah pelayaran internasional, membuat wajah provinsi ini amat berseri-seri.
      KEKAYAAN alam itulah yang menjadi salah satu modal bagi daerah ini untuk membentuk provinsi tersendiri, berpisah dari Sumatera Tengah. Setelah Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 ditandatangani  Presiden Soekarno di Denpasar tanggal 9 Agustus 1957 yang kini dikenang sebagai hari lahir Provinsi Riau, kekayaan alam itu  diharapkan dapat mengangkat masyarakat Riau dari berbagai ketertinggalan. Modal besar lain sistem kemasyarakatannya dengan pilar utama kebudayaan Melayu yang membedakannya dengan Sumatera Barat atau pusat dari Sumatera Tengah.
  
   Sejak awal tahun 1950-an, produksi minyak mentah yang dikeruk di Riau sudah memperlihatkan hasil yang hampir bisa dikatakan spetakuler. Pada tahun 1952, produksi minyak Riau baru 15.000 barrel per hari, melonjak drastis menjadi 43.000 barrel per hari pada tahun 1954. Hanya satu tahun kemudian, produksi minyak Riau menjadi 61.000 barrel per hari, sedangkan pada tahun 1957 mencapai 89.000 barrel per hari. Tak sampai setahun kemudian, produksi minyak Riau telah mencapai 150.000 barrel per hari.
      Berbagai barang ekspor yang tidak dapat dikeluarkan dari dua karesidenan lain di Sumatera Tengah, justru begitu menjadi-jadi dari  Riau. Pada tahun 1950-an, Riau sudah mengekspor kayu balak sebanyak   116.633 meter kubik, disusul kayu gergajian 11.000 meter kubik lebih, arang 19.865 ton, dan teki 12.000 meter kubik. Belum lagi hasil hutan lain semacam nibung, rotan, bengkawan, nipah, dan kayu api.
      Sementara ekspor hasil laut, tak usah cerita. Dalam tahun 1952 saja, ekspor ikan dari Kabupaten Bengkalis saja adalah 14.812.213 ton, sedangkan dari Kepulauan Riau sebanyak 4.718.359 ton. Angka ini belum termasuk pembelian langsung hasil tangkapan nelayan Riau di tengah lautan yang dilakukan pedagang-pedagang dari Singapura. Waktu itu, lebih dari 100 kapal Singapura, memang dibenarkan melakukan perdagangan semacam itu di perairan Riau.
      Membandingkannya dengan kondisi Riau sekarang, produksi masa lalu itu tentulah amat berbeda. Tahun 1998 saja, produksi minyak bumi Riau mencapai 303 juta barrel, sedangkan gas buminya sekitar 113 juta MSCF. Tidak kurang dari 400 perusahaan industri berada di daerah ini. Selain itu pada tahun 1999, penanaman modal dalam negeri di Riau sebesar Rp 9 trilyun lebih, sedangkan penanaman modal asingnya 5.145 juta dollar AS.

      Dari usaha-usaha tersebut, tidak sedikit devisa yang sudah dihasilkan oleh Riau untuk Indonesia. Tahun 1997 saja, devisa yang dihasilkan  Riau adalah Rp 30 trilyun. Dari angka ini sekitar Rp 17 trilyun  berasal dari minyak bumi, sedangkan selebihnya dari berbagai kegiatan usaha baik kecil, sedang, dan besar. Kalau saja hasil devisa ini dikumulatif dalam 10 tahun saja dan ditulis dengan angka, tentu tidak  mudah untuk membacanya.

http://sasirzayusraaan.blogspot.com/2014/08/makalah-tentang-mengevaluasi-perang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar