A. PERLAWANAN GOA
Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap kolonial Belanda pada tahun 1825 sampai
1830 sangat terkait dengan nama suatu tempat, yaitu Goa Selarong. Goa
Selarong merupakan tempat dimana pasukan Diponegoro dan para pengikutnya
melarikan diri dari Belanda, selain sebagai persembunyian tempat ini juga
dijadikan markas bagi pasukan Diponegoro.
Goa Selarong adalah saksi sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro dan laskarnya
yang digunakan sebagai markas gerilya melawan penjajahan Belanda. Dari area goa
inilah Pangeran Diponegoro menyusun taktik dan berdiskusi dengan para
pengikutnya dalam upaya melakukan serangan kepada Belanda. Selama bermarkas di
Goa Selarong, laskar Pangeran Diponegoro telah diserang tiga kali oleh Belanda,
yaitu pada tanggal 25 Juli, 3 Oktober, dan 4 Oktober 1825. Peperangan yang
terjadi antara Laskar Pangeran Diponegoro dan Belanda itu dikenal dengan nama Perang
Jawa yang berlangsung selama lima tahun, yaitu pada tahun 1825 - 1830.
B. Goa Selarong
Goa Selarong terletak di Dukuh Kembang Putihan, Kelurahan Guwosari, Kecamatan
Pajangan, Kabupaten Bantul. Goa Selarong ini letaknya kurang lebih 5 km sebelah
Barat Laut kota Bantul. Sebelum bernama Goa Selarong goa ini bernama Goa
Secang, hal ini disebabkan dahulu dipergunakan Kyai Secang untuk bertapa.
Kemudian bernama Goa Selarong sebab berasal dari kata sila-rong. Pada
waktu itu Pangeran Diponegoro bersemedi maupun mengatur strategi perang, beliau
sila (bersila) di dalam goa, yang artinya bersila di goa. Goa Selarong
jumlahnya ada dua yaitu Goa Kakung dan Goa Putri.
Goa Kakung berukuran 3 × 2 × 1,5 m. Goa Kakung ini merupakan tempat
persembunyian dan mengatur strategi perang bagi Pangeran Diponegoro sewaktu
Selarong menjadi markas besar pasukan Diponegoro melawan Belanda. Goa
yang kedua adalah Goa Putri, letaknya kira-kira 100 m sebelah kiri Goa Kakung.
Goa Putri itu lebih luas dan panjang jika dibandingkan dengan Goa Kakung.
Ukurannya 12 × 10 × 1,5 m.
Pada masa perlawanan Pangeran Diponegoro, Goa Putri dipergunakan sebagai tempat
persembunyian para putri dan istri pemimpin pasukan Diponegoro. Goa Selarong
letaknya di atas perbukitan padas sehingga sangat strategis dan menguntungkan
untuk pertahanan serta mengatur strategi perang. Hal tersebut tentu saja
merupakan modal yang sangat penting untuk mendukung perjuangan Pangeran
Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda. Di Goa Selarong ini dulu banyak
diketemukan senjata yang pernah dipergunakan para prajurit pasukan Diponegoro
seperti keris, tombak, pedang dan sebagainya. Sekarang senjata-senjata tersebut
disimpan di Museum Monumen Pangeran Diponegoro Tegalrejo.
Pada waktu dilaksanakan peringatan 100 tahun meninggalnya Pangeran Diponegoro
tanggal 8 Januari 1995, Goa Selarong mulai dipagar oleh pemerintah. Adapun
gunanya adalah untuk mengenang peristiwa bersejarah dan perjuangan Pangeran
Diponegoro beserta rakyat melawan penjajah Belanda, memberikan informasi dan
pengetahuan pada masyarakat tentang perjuangan Pangeran Diponegoro dan untuk
obyek wisata. Atas dasar pengertian tersebut maka dengan dipugarnya Goa
Selarong diharapkan supaya generasi muda dan masyarakat lebih mengenal dan
menghayati perjuangan untuk dilestarikan dan sebagai sumber daya spiritual bagi
pembangunan nasional
C. Uraian Tentang
Peristiwa Sejarah
Sebagai kita ketahui bahwa pada permulaan abad ke-19 pengaruh Belanda pada
Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta makin kuat. Pada masa
pemerintahan Deandels terdapat usaha mencampuri urusan tatacara di Kraton.
Misalnya, Deandels menghendaki persamaan derajat dengan Sunan atau Sultan pada
waktu upacara kunjungan resmi yang diadakan di kraton. Dalam upacara tersebut
pembesar Belanda supaya diijinkan duduk sejajar dengan Raja dan sajian sirih
supaya dihapus. Raffles meneruskan usaha yang sama terhadap kehidupan kraton.
Keadaan yang demikian menimbulkan rasa kecewa dan tidak senang diantara
golongan bangsawan. Mereka menganggap bahwa martabat kerajaan menjadi merosot
akibat tindakan Belanda tersebut. Tambahan lagi setelah kebiasaan minum-minuman
keras beredar di kalangan bangsawan atau rakyat umum. Kekecewaan dan
kekhawatiran di kalangan golongan alim ulama di kraton makin meningkat.
Kebiasaan yang timbul dari pergaulan dengan orang barat semacam ini dianggap
membahayakan kehidupan agama Sultan dimana golongan alim ulama tidak lagi
dipandang sebagai Khalifah.
Sebelum Pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan Belanda situasi kraton
selalu kacau akibat penggantian tahta dari Sultan Sepuh dengan Sultan Raja
kemudian kembali lagi ketangan Sultan Sepuh. Timbullah intrik-intrik di dalam
kraton yang dilakukan oleh masing-masing pendukung sultan tersebut.
Kasus pengangkatan Wali Sultan Hamengku Buwono V sempat pula
menimbulkan perselisihan di kalangan kraton. Disamping itu masih ditambah pula
kasus persekutuan jahat antara Residen Belanda di Yogyakarta De Salis maupun
penggantinya Smissaert dengan Patih Danurejo IV dan Raden Tumenggung
Secodiningrat yang bermaksud menyingkirkan Pangeran Diponegoro dan merongrong
kekuasaan Sultan. Hal itu tampak jelas dalam masalah perwalian sultan. Pangeran
Diponegoro selalu dikesampingkan dengan cara tidak pernah diajak memecahkan
persoalan-persoalan kraton.
Kecuali itu legitimasi Belanda terhadap Patih Danurejo menyebabkan Ia
berpengaruh besar atas sultan. Hal ini terbukti waktu menetapkan pajak-pajak
bara dengan alasan menutup kas kerajaan. Padahal masalah tersebut ditentang
keras oleh Pangeran Diponegoro. Pertentangan intern bangsawan maupun antara
golongan masyarakat mengundang intervensi Belanda. Maka timbullah kelompok pro
dan kontra terhadap kekuasaan penjajah baik dikalangan penguasa bangsawan
maupun rakyat.
Padahal kehidupan rakyat benar-benar resah dan menderita akibat sistem ekonomi
koloni maupun pungutan berbagai pajak, rodi serta paksaan-paksaan lainnya.
Keadaan tersebut menyebabkan rakyat mengharap datangnya semacam mesias atau
ratu adil yang membebaskan mereka dari penderitaan dengan pemimpin kearah
perbaikan, rakyat melihat Pangeran Diponegoro sebagai ratu adil sehingga
mendengar beliau melawan Belanda, rakyat spontan bangkit serentak mengikuti
pemimpinnya. Lebih-lebih lagi ajakan dari para ulama mendapat sambutan karena
tekanan hidup, sikap anti terhadap kekuasaan asing serta terdorong oleh
keyakinan agama. Ikatan tradisional dalam masyarakat untuk ketaatan pada atasan
dan pemimpin agama menjadi faktor terpenuhinya sikap tersebut.
Kebencian meningkat menjadi kemarahan ketika Belanda mencoba membuat jalan
melalui tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa meminta ijin atau
membicarakan dahulu dengan beliau. Sebelum jalan mulai dikerjakan dipasang
tonggak-tonggak. Oleh orang-orang suruhan Pangeran Diponegoro tonggak-tonggak
tadi dicabuti, tindakan ini membuat Belanda marah.
Kemudian Belanda mengutus Pangeran Mangkubumi memanggil Pangeran Diponegoro
untuk datang ke kraton. Akan tetapi Pangeran Mangkubumi sendiri tidak mau
kembali ke kraton. Belanda mengutus lagi pangeran yang lain untuk memanggil
Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi untuk datang ke kraton. Akan tetapi
sebelum utusan tersebut kembali, Belanda telah datang ke Tegalrejo membakar dan
menembaki rumah Pangeran Diponegoro. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Juli
1825. Kemudian Pangeran Diponegoro serta Pangeran Mangkubumi dan keluarganya
meloloskan diri naik kuda dengan merusak pagar tembok yang terletak disebelah
barat pendopo Tegalrejo menuju Selarong. Dengan demikian mulailah perlawanan Pangeran
Diponegoro pada tanggal 20 Juli 1825.
Pangeran Diponegoro menjadikan Selarong sebagai pusat perjuangan dan mengatur
siasat perlawanan. Pengikutnya makin bertambah banyak. Para bangsawan, rakyat
berduyun-duyun datang ke Selarong untuk menggabungkan diri. Kyai Mojo seorang
ulama terkenal dari Surakarta juga menggabungkan diri. Demikian juga Basah
Sentot Prawirodirjo ikut membantu perlawanan Diponegoro terhadap Belanda.
Semboyan perang Sabil dikumandangkan ke segenap pengikutnya baik yang ada di
Selarong maupun yang ada di daerah lain. Bahkan seorang Kyai bernama Hasan
Basri diutus Pangeran Diponegoro untuk mengabarkan Perang Sabil di daerah Kedu.
Pangeran Adinegoro adik Pangeran Diponegoro yang ada di Yogyakarta menyusul ke
Selarong dengan membawa 200 prajurit sebagai bantuan. Di Selarong inilah
Pangeran Diponegoro membagi tugas untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Pangeran Adinegoro diangkat sebagai Patih dengan gelar Pangeran Suryongiogo,
kemudian Pangeran Suryongiogo ini ditugaskan mengadakan perlawanan terhadap
Belanda di daerah sekitar Yogyakarta. Pangeran Ontowiryo dengan di dampingi
Tumenggung Dani Kusumo diberi tugas melakukan perlawanan di daerah Bagelen.
Perlu diketahui bahwa Pangeran Ontowiryo ini adalah putra Pangeran Diponegoro
yang kemudian bergelar juga Pangeran Diponegoro. Pangeran Adiwinoto didampingi
Tumenggung Joyomustopo ditugaskan memimpin perlawanan di daerah Kowanu.
Pangeran Adisuryo dan Pangeran Sumonegoro ditugaskan mengadakan perlawanan di
daerah Kulonprogo. Sedangkan di daerah sebelah utara Yogyakarta pimpinan
perlawanan diserahkan kepada Pangeran Joyokusumo dan Tumenggung Surodilogo.
Pimpinan perlawanan di daerah Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada
Tumenggung Suryonegoro dan Suronegoro, Somodinigrat serta Joyowinoto.
Pertahanan markas besar Selarong dan sekitarnya diserahkan kepada Pangeran
Joyonegoro, Pangeran Suryodiningrat dan Pangeran Joyowinoto. Adapun perlawanan
di Gunungkidul dipimpin oleh Pangeran Singosari dan Pangeran Warsokusumo.
Perlawanan di daerah Pajang di serahkan kepada Tumenggung Mertoloyo
Wiryokusumo, Surdorejo. Perlawanan di daerah Sukowati dipimin oleh Kartodirjo.
Sedangkan Bupati Mangunegoro memimpin perlawanan di daerah Madiun, Magetan,
Kediri dan sekitarnya.
Insiden Teglrejo dengan cepat sampai ke Batavia. Gubernur Jendral Van Den
Capellen menugaskan Jendral De Kock untuk mengatasi perlawanan Diponegoro.
Jenderal De Kock tiba di Semarang pada tanggal 29 Juli 1825 dan tiba di keraton
Surakarta tanggal 30 Juli 1825. Sri Sultan Paku Buwono bersedia membantu
Jenderal De Kock untuk memadamkan perlawanan Pangeran Diponegoro.
Untuk memadamkan perlawanan Pangeran Diponegoro di sekitar Yogyakarta Belanda
mendatangkan pasukan dari Semarang. Sesampainya di desa Logorok bala bantuan
yang dipimpin Kapten Keemsius diserang oleh pasukan Pangeran Dionegoro di bawah
pimpinan Mulyosentiko. Sebagian besar pasukan Belanda yang berjumlah 200 orang
meninggal, senjatanya dirampas beserta uang 50.000 Gulden yang akan disampaikan
kepada Residen Yogyakarta. Barang rampasan ini kemudian dibawa ke Selarong.
Kemenangan pasukan Pangeran Diponegoro ini terjadi pada akhir Juli 1825.
Mendengar kemenangan pasukan Pangeran Diponegoro di Logorok membuat rakyat makin
bersemangat menentang Belanda. Keluarga Keraton Yogyakarta menjadi ketakutan
lalu berlindung di dalam benteng Belanda. Banyak alim ulama keraton
meninggalkan keraton danikut berjuang dengan pasukan Pangeran Diponegoro.
Belanda berusaha untuk mengadakan serangan balasan. Pasukan Belanda di bawah
pimpinan Jenderal De Kock mengadakan serangan besar-besaran ke markas besar
Selarong. Serangan besar-besaran ke Selarong ini dilaksanakan pada tanggal 2
dan 4 Oktober 1825, namun Selarong sudah kosong ditinggalkan oleh Pangeran
Diponegoro. Setiap kali Selarong di serang Belanda, Pangeran Diponegoro dan
pengikutnya bersembunyi di Goa Selarong. Begitu Belanda meninggalkan Selarong
maka Pangeran Diponegoro kembali lagi ke Selarong. Hal ini disebabkan Pangeran
Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya dan sedapat mungkin menghindari
perang besar-besaran. Demikianlah sampai beberapa kali Belanda selalu gagal
untuk menangkap dan mengalahkan Pangeran Diponegoro.
Oleh karena markas besar Selarong tidak aman lagi, maka Pangeran Diponegoro
memindahkan markas besarnya ke Dekso. Meskipun Pangeran Diponegoro masih
menggunakan Selarong sebagai benteng pertahanan. Pernah Selarong diseran dan
diduduki oleh pasukan Mangkunegara. Akan tetapi ini tidak lama sebab pada
tanggal 4 Agustus 1826 Selatong berhasil direbut oleh pasukan Pinilih dan
pasukan Mulkyo.
D. Penyerangan Belanda Terhadap
Selarong
Selama Pangeran Diponegoro bermarkas di Selarong mendapat serangan dari pasukan
Belanda sebanyak 3 kali :
Pertama :
Tanggal 25 Juli 1825 oleh pasukan yang dipimpin Kapten
Bouwens. Serangan ini merupakan balasan terhadap penyergapan yang terjadi di
desa Logorok dekat desa Pisangan. Serangan ini tidak membawa hasil karena
Selarong di kosongkan.
Kedua :
Pada akhir September, serangan besar-besaran dari pasukan
Belanda ini yang dipimpin oleh Mayor Sellewijn dan Letnan Achanbach. Di samping
itu dibantu oleh pasukan-pasukan Jawa dan Madura yang dipimpin oleh Panembahan
Sumenep, Pangeran Purbaya, Pangeran Harya Mataram, Pangeran Suryadinigrat,
Pangeran Suryaningprang dan lain-lain. Sampai di Selarong ternyata Selarong
telah dikosongkan. Setelah tahu kosong, maka tempat tersebut ditinggalkan oleh
Belanda. Pada hari berikutnya, tanggal 3 Oktober 1825, Pangeran Diponegoro dan
pasukannya muncul lagi di Selarong.
Ketiga :
Serangan ketiga tanggal 4 Oktober setelah pimpinan pasukan
Belanda diberitahu kalau Pangeran Diponegoro kembali ke Selarong. Akan tetapi,
serangan Belanda ini juga tidak berhasil, gagal, karena ketika Belanda
menyerang ke Selarong, ternyata telah dikosongkan oleh Pangeran Diponegoro dan
pasukannya yang telah mundur kembali ke Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro melaksanakan siasat perang gerilya, tidak melakukan secara
frontal. Jika Belnada ke Selarong, Selarong dikosongkan, jika Belanda pergi
Pangeran Diponegoro ke Selarong lagi. Jika Belanda menyerang, Pangeran
Diponegoro bersembunyi. Persembunyiannya di goa-goa pegunungan sebelah barat
desa Selarong di sebelah barat Sungai Bedog. Pimpinan pasukan Belanda tidak
mengetahui tempat persembunyian itu.
E. RAKYAT
RIAU ANGKAT SENJATA
Jumat, 10 Agustus 2001
Hanya Angkat Senjata yang Belum Dilakukan.
MESKIPUN tuntutan masyarakat Riau terhadap perpanjangan kontrak
bagi hasil dari perpanjangan
pengelolaan ladang minyak Blok Coastal Plain
Pekanbaru (CPP) dipenuhi dengan berbagai variasi, hak-hak daerah
ini untuk mendapatkan kekayaan alamnya
itu masih mengandung berbagai
pertanyaan. Sejauh mana komitmen dari pengelolaan Blok CPP dapat diwujudkan, masih memerlukan pembuktian.
Belum lagi berkaitan dengan bagaimana
pengelolaan ladang-ladang minyak yang lain, yang malahan lebih potensial dibandingkan Blok CPP.
Sebaliknya, dipenuhinya tuntutan masyarakat
Riau sehingga mereka yang sebelumnya
menolak perpanjangan kontrak satu tahun antara Pertamina dan PT Caltex Pacific Indonesia (CPI), dapat
menerima kebijakan tersebut, harus
sama-sama dihargai. Sikap menambah butir kontrak bagi hasil bagi sebuah perjanjian yang sudah
ditandatangani dalam bisnis
internasional semacam pengelolaan Blok CPP, demi memikirkan keutuhan
bersama terutama hubungan pusat-daerah yang sekaligus menyangkut keamanan
regional, tentulah patut dicatat secara khusus.
Seperti diketahui, perpanjangan kontrak bagi
hasil untuk mengelola ladang minyak
Blok Costal Plain Pekanbaru (CPP) antara Pertamina dan PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) ditolak
berbagai komponen masyarakat di Riau.
Pasalnya, perpanjangan kontrak ini tidak mencantumkan tentang kompensasi yang diharapkan dalam masa
perpanjangan kontrak setahun tersebut
yakni pendapatan Riau sebesar 30 persen dari keuntungan bersih atau senilai 27 juta dollar AS.
Selain itu tidak dinyatakan tentang penempatan tenaga lokal dalam pengelolaan
Blok CPP.
Akibat tidak aspiratif tersebut, Presiden
Megawati Soekarnoputri diberi waktu 3 x 24 jam untuk meninjau kembali
persetujuannya terhadap perpanjangan
kontrak bagi hasil di Blok CPP itu. Jika tidak dilakukan, aktivitas Blok CPP segera
diblokir. Untuk aksi tersebut, Drs Al azhar MA yang juga Ketua Badan Pekerja
Kongres Rakyat Riau II dengan tujuan
mencapai Riau merdeka secara damai, ditugaskan untuk membentuk Aksi Riau untuk Kuasai (Aruk) Blok CPP yang
memblokir ladang minyak itu tanggal 9 Agustus 2001.
Aksi yang menyebabkan Riau dalam siaga satu
bahkan sampai mendatangkan bantuan keamanan dari Polda Sumbar dan Sumut, urung
dilaksanakan.Batas ultimatum 3 x 24 jam itu dijawab dengan kesepakatan hitam di
atas putih di antara pihak-pihak yang terkait dengan Blok CPP seperti CPI,
Pertamina, dan delegasi Riau. Kompensasi senilai Rp 27 juta dollar AS
dituangkan dalam berbagai hal seperti penyiapan pengelolaan Blok CPP oleh Riau,
pengembangan masyarakat, dan biaya operasional
Blok CPP.
BLOK CPP merupakan salah satu ladang minyak
di Riau yang terletak sekitar 175 kilometer dari Pekanbaru. Produksinya bisa
mencapai 70.000 barrel per hari atau tidak sampai 10 persen dari produksi
minyak yang dikelola CPI di Riau yang mencapai 750.000 barrel per hari.
Artinya, masih banyak ladang minyak lain yang bahkan memiliki hasil lebih besar.
"Ladang-ladang minyak selain Blok CPP
pun akan diupayakan dikelola oleh Riau sebagaimana halnya Blok CPP," kata
Ketua Badan Pekerja (BP) Kongres Rakyat Riau (KRR) II, Al azhar. Ini sejalan
dengan amanat KRR II yang dilaksanakan
awal tahun 2000 tersebut yang menyebutkan bahwa kekayaan alam Riau untuk
menyejahterakan rakyat Riau. KRR II itu sendiri juga menugaskan agar BP KRR II
mencapai Riau merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara
damai.
Kalau baru Blok CPP yang menghebohkan, hal
itu harus dapat dipahami bahwa baru di ladang minyak itu saja yang masa kontrak
bagi hasilnya berakhir dalam waktu dekat. Masa akhir kontrak kerja di
ladang-ladang minyak lain masih lama, bahkan ada yang masih 20 tahun lagi.
Kontrak kerja bagi hasil Blok Rokan misalnya, akan berakhir di atas tahun 2010.
Mulai digarap sejak sebelum Perang Dunia
II, untuk memperoleh hasil minyak termasuk pengelolaan ladang minyak Blok
Costal Plain Pekanbaru (CPP), sudah dilakukan masyarakat Riau dengan cara
demokratis dan santun. Dilaksanakan berkali-kali dengan berbagai pendekatan
yang dapat ditelesuri sejak tahun 1950-an, ternyata hanya angkat senjata saja
yang belum dilakukan masyarakat Riau untuk memperoleh hasil minyak sekaligus mengelola ladang minyak di
daerahnya sendiri. Ini juga terjadi dalam memperjuangkan hak-hak dari kekayaan
alam Riau yang lain termasuk tanah.
Khusus perjuangan mengenai minyak,
misalnya, pada tahun 1959, setelah Provinsi Riau terbentuk-terpisah dari
Provinsi Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi-suara itu dikumandangkan
oleh Badan Penasihat Gubernur Riau
melalui pidato anggota lembaga tersebut, DM Yanur. Ini diungkapkan dalam
Konferensi Daerah (Konferda) yang dihadiri Menteri Dalam Negeri waktu itu,
Sanusi Hardjadinata. Hal serupa juga dilakukan
pada tahun 1970, ketika Riau dipimpin Arifin Ahmad (almarhum).
Paling baru, memang perjuangan untuk
memperoleh pengelolaan Blok CPP yang masa kontrak bagi hasilnya berakhir pada 8
Agustus 2001 ini. Berbagai komponen
masyarakat, termasuk pihak eksekutif dan legislatif, membentuk tim
memperjuangkan hal itu. Berkali-kali mereka mendatangai pemerintah pusat yang
ternyata tidak direspon dengan baik.
Berbagai sistem pengelolaan yang
diinginkan sejumlah komponen masyarakat Riau, justru menjadi alasan pemerintah
pusat untuk tidak memberikan apa-apa dari perpanjangan kontrak Blok CPP. Ini
justru menimbulkan kelucuan dan sikap yang tidak tahu menghargai demokrasi
karena pemerintah pusat lebih mengutamakan teknik, bukan esensi persoalan. Hal
pokok yang dituntut oleh berbagai komponen di Riau adalah bagaimana pengelolaan
Blok CPP itu berada di tangan Riau, sementara tekniknya yang antara lain
menyangkut dengan persentase dan sebagainya itu, hanyalah merupakan suatu
elemen yang dapat diubah dan ditukar
tambah.
"SELAMA ini masyarakat Riau sangat
kooperatif dalam berbagai hal, termasuk dalam memperjuangkan hal-hak Riau terhadap
minyak seperti juga yang diperlihatkan
dalam memperoleh hak mengelola Blok CPP itu," kata Ketua DPRD Riau, drh Chaidir MM. Seperti
juga Gubernur Saleh Djasit SH, Chaidir
mengharapkan agar perjuangan memperoleh hak dari minyak beserta pengelolaannya
tidak dilakukan secara anarki, apa lagi
sampai mengangkat senjata.
Persoalannya, ujar Saleh, tindakan anarki
akan menyebabkan daerah Riau yang selama ini relatif aman, akan dicap sebagai
daerah yang kacau. Dengan demikian, tentu saja hal itu berdampak pada penanaman
modal atau usaha lain. "Kalau Riau
tidak aman, pihak mana pula yang dapat diharapkan menanamkan investasinya ke
daerah ini. Investor yang ada bisa-bisa kabur dari Riau, padahal usaha mereka lebih
besar dari usaha minyak," kata Saleh.
Perkataan orang nomor satu di Riau itu,
barangkali tidak ada salahnya. Selain CPI dengan usahanya sebagai penambang
minyak utama di Riau bahkan di Indonesia, berbagai perusahaan bercokol di
provinsi tanah Melayu ini. Ada kilang
minyak Puteri Tujuh di Dumai yang menghasilkan Bahan Bakar Minyak (BBM) cukup
signifikan bagi penyediaan BBM nasional.
Daerah ini bahkan memiliki dua pabrik
kertas yakni PT Indah Kiat Pulp and Paper dan PT Riau Andalan Pulp and Paper.
Belum lagi perusahaan kayu semacam plywood yang menggiurkan. Jika ditambah
dengan usaha-usaha di Batam, berbagai industri di Provinsi Riau, memperlihatkan
wajah yang begitu cemerlang. Kekayaan alamnya yang menyimpan apa saja termasuk
emas dan batu bara, ditambah kondisi
geografisnya di tengah pelayaran internasional, membuat wajah provinsi
ini amat berseri-seri.
KEKAYAAN alam itulah yang menjadi salah
satu modal bagi daerah ini untuk membentuk provinsi tersendiri, berpisah dari
Sumatera Tengah. Setelah Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957
ditandatangani Presiden Soekarno di
Denpasar tanggal 9 Agustus 1957 yang kini dikenang sebagai hari lahir Provinsi
Riau, kekayaan alam itu diharapkan dapat
mengangkat masyarakat Riau dari berbagai ketertinggalan. Modal besar lain
sistem kemasyarakatannya dengan pilar utama kebudayaan Melayu yang
membedakannya dengan Sumatera Barat atau pusat dari Sumatera Tengah.
Sejak awal tahun 1950-an, produksi minyak
mentah yang dikeruk di Riau sudah memperlihatkan hasil yang hampir bisa
dikatakan spetakuler. Pada tahun 1952, produksi minyak Riau baru 15.000 barrel
per hari, melonjak drastis menjadi 43.000 barrel per hari pada tahun 1954.
Hanya satu tahun kemudian, produksi minyak Riau menjadi 61.000 barrel per hari,
sedangkan pada tahun 1957 mencapai 89.000 barrel per hari. Tak sampai setahun
kemudian, produksi minyak Riau telah mencapai 150.000 barrel per hari.
Berbagai barang ekspor yang tidak dapat
dikeluarkan dari dua karesidenan lain di Sumatera Tengah, justru begitu
menjadi-jadi dari Riau. Pada tahun
1950-an, Riau sudah mengekspor kayu balak sebanyak 116.633 meter kubik, disusul kayu gergajian
11.000 meter kubik lebih, arang 19.865 ton, dan teki 12.000 meter kubik. Belum
lagi hasil hutan lain semacam nibung, rotan, bengkawan, nipah, dan kayu api.
Sementara ekspor hasil laut, tak usah
cerita. Dalam tahun 1952 saja, ekspor ikan dari Kabupaten Bengkalis saja adalah
14.812.213 ton, sedangkan dari Kepulauan Riau sebanyak 4.718.359 ton. Angka ini
belum termasuk pembelian langsung hasil tangkapan nelayan Riau di tengah lautan
yang dilakukan pedagang-pedagang dari Singapura. Waktu itu, lebih dari 100
kapal Singapura, memang dibenarkan melakukan perdagangan semacam itu di
perairan Riau.
Membandingkannya dengan kondisi Riau
sekarang, produksi masa lalu itu tentulah amat berbeda. Tahun 1998 saja,
produksi minyak bumi Riau mencapai 303 juta barrel, sedangkan gas buminya
sekitar 113 juta MSCF. Tidak kurang dari 400 perusahaan industri berada di
daerah ini. Selain itu pada tahun 1999, penanaman modal dalam negeri di Riau
sebesar Rp 9 trilyun lebih, sedangkan penanaman modal asingnya 5.145 juta
dollar AS.
Dari usaha-usaha tersebut, tidak sedikit
devisa yang sudah dihasilkan oleh Riau untuk Indonesia. Tahun 1997 saja, devisa
yang dihasilkan Riau adalah Rp 30
trilyun. Dari angka ini sekitar Rp 17 trilyun
berasal dari minyak bumi, sedangkan selebihnya dari berbagai kegiatan
usaha baik kecil, sedang, dan besar. Kalau saja hasil devisa ini dikumulatif
dalam 10 tahun saja dan ditulis dengan angka, tentu tidak mudah untuk membacanya.
http://sasirzayusraaan.blogspot.com/2014/08/makalah-tentang-mengevaluasi-perang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar