Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan
raja ketiga Kerajaan Mataram Islam. Disebut Mataram Islam untuk membedakan
dengan Mataram Hindu di Jawa Tengah. la adalah cucu dari Panembahan Senapati
(Sutawijaya) dan putra Panembahan Seda Krapyak.
Penembahan Senapati yang
dilahirkan pada tahun 1591 merupakan pendiri Dinasti Mataram. Sultan Agung
merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah
pesisir seperti Surabaya ditaklukkannya supaya kelak tidak membahayakan
kedudukan Kerajaan Mataram.
Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang semula berupa Kongsi Dagang Hindia Timur Jauh yaitu, VOC
( Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada masa itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu, VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur. Selain VOC masih ada Kerajaan Banten yang tidak tunduk kepada Mataram. Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa : Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir di Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai
pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan
nasional Indonesia berdasarkan S.K. PresidenNo. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975
B. Silsilah keluarga
Nama aslinya adalah Raden
Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang.
Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah
raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang.
Versi lain mengatakan, Sultan
Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak
Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang
dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah
pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang
kebenarannya perlu untuk dibuktikan.
Sebagaimana umumnya raja-raja
Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu
Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat
atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu
Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas
Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).
C. Gelar yang dipakai
Pada awal pemerintahannya,
Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma" atau
"Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624,
ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau
disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma".
Setelah 1640-an beliau
menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman".
Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar
bernuansa Arab. Gelar
tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang
diperolehnya dari pemimpin Ka'bah diMakkah,
Untuk mudahnya, nama yang
dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu
"Sultan Agung".
D. Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta
pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan
adiknya(beda ibu), Adipati Martapura,
yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis
Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum
dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai
pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu
Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun
kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua,
dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai
dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di
sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.
Saingan besar Mataram saat itu
tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung
mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka,
Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa
bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati
terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan
Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang).
Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati
Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya.
Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di
desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung
berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada
tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat
ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke
Surabaya.
E. Menaklukkan Surabaya
Sultan Agung menyadari bahwa
kehadiran Kompeni Belanda di Batavia dapat membahayakan kesatuan negara yang
dalam hal ini terutama meliputi Pulau Jawa.
Di samping VOC, masih ada kerajaan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak berada di bawah kekuasaan Mataram. Langkah pertama untuk menyatukan seluruh Jawa adalah mengadakan sejumlah penaklukan di daerah Jawa Timur. Oleh karena itu, Lasem ditundukkan (tahun 1616), disusul Pasuruan (1617) Tuban (1919), Madura (1624), dan Surabaya (1625). Dengan penguasaan kerajaan-kerajaan pesisir Jawa Timur untuk sementara dapat dicegah intervensi kekuasaan asing. Untuk menjaga agar para raja pesisir tidak memberontak dilakukan pohtik doniestifikasi. Contoh yang dapat dikemukakan adalah ketika Madura dapat ditaklukkan, Pangeran Prasena yang dikhawatirkan akan memperkuat diri, oleh Sultan Agung diharuskan tinggal di Kraton Mataram.
Di samping VOC, masih ada kerajaan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak berada di bawah kekuasaan Mataram. Langkah pertama untuk menyatukan seluruh Jawa adalah mengadakan sejumlah penaklukan di daerah Jawa Timur. Oleh karena itu, Lasem ditundukkan (tahun 1616), disusul Pasuruan (1617) Tuban (1919), Madura (1624), dan Surabaya (1625). Dengan penguasaan kerajaan-kerajaan pesisir Jawa Timur untuk sementara dapat dicegah intervensi kekuasaan asing. Untuk menjaga agar para raja pesisir tidak memberontak dilakukan pohtik doniestifikasi. Contoh yang dapat dikemukakan adalah ketika Madura dapat ditaklukkan, Pangeran Prasena yang dikhawatirkan akan memperkuat diri, oleh Sultan Agung diharuskan tinggal di Kraton Mataram.
Di kraton, Prasena mendapat perlakuan
baik dan dikawinkan dengan
putri kraton yang bernama Ratu Ibu. Baru setelah menunjukkan kesetiaan kepada raja, Prasena diperbolehkan memerintah Madura dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat (I). Lewat; strategi itu terbina hubungan yang baik dengan berbagai daerah yang telah ditundukkan. Kerajaan kerajaan yang ditaklukkan itu tidak merasa menjadi "wilayah bawahan" Mataram, tetapi merasa menjadi mitra yang dipertatungkan bahkan terbina hubungan kekeluargaan yang baik. Lewat usaha itu sebagian besar wilayah di Pulau Jawa dapat dibina dan disatukan.
putri kraton yang bernama Ratu Ibu. Baru setelah menunjukkan kesetiaan kepada raja, Prasena diperbolehkan memerintah Madura dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat (I). Lewat; strategi itu terbina hubungan yang baik dengan berbagai daerah yang telah ditundukkan. Kerajaan kerajaan yang ditaklukkan itu tidak merasa menjadi "wilayah bawahan" Mataram, tetapi merasa menjadi mitra yang dipertatungkan bahkan terbina hubungan kekeluargaan yang baik. Lewat usaha itu sebagian besar wilayah di Pulau Jawa dapat dibina dan disatukan.
Untuk menghancurkan kedua
musuhnya di Jawa Barat, Sultan Agung pernah menawarkan kerjasama dengan VOC
untuk menghancurkan Banten. Setelah Banten hancur, barulah VOC mendapatkan
gilirannya. Tawaran kerjasama itu ditolak oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur
Jendral VOC pada masa itu. Gubernur Jenderal itu rupanya mengetahui bila
sesudah Kerajaan Banten dapat dihancurkan maka kongsi dagang itu akan menjadi
sasaran berikutnya. VOC tetap memelihara pertentangan antara dua kerajaan itu
dan memainkan pengaruhnya di setiap pergantian raja. Raja yang pro VOC akan
didukungnya dengan membayar imbalan berupa penyerahan sebagian tanah kerajaan
kepadanya.
Pada tahun 1620 pasukan
Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan
suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.
Sultan Agung kemudian
mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya)
tahun 1622. Dikirim pula Ki
Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624.
Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di
bawah pimpinan Pangeran
Prasena yang bergelar Cakraningrat
I.
Dengan direbutnya Sukadana dan
Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama
sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625,
bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada
pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng. Beberapa waktu
kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang
bernama Pangeran Pekik diasingkan
ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram,
dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat
menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi
wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah
penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi
pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung
sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang
sangat mahal.
F. Hubungan dengan VOC
Pada tahun 1614 VOC (yang
saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta
untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada
tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen
akibat perang yang berlarut-larut
melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung
tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC
berhasil merebut Jayakarta di
bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya
menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota
itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai
berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram
mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata
menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan
diplomatik kedua pihak pun putus.
G. JALANNYA PERLAWANAN
Sultan Agung (memerintah
1613-1646), raja terbesar dari Mataram, menggantikan ayahandanya, Panembahan
Seda (ing) Krapyak, setelah ayahandanya ini wafat pada tahun 1613. Dalam
kenyataannya dia tidak memakai gelar sultan sampai tahun 1641; mula-mula dia
bergelar pangeran atau panembahan dan sesudah tahun 1624 dia bergelar susuhunan
(yang sering disingkat sunan, gelar yang juga diberikan kepada kesembilan
wali). Namun demikian, disebut Sultan Agung sepanjang masa pemerintahannya
dalam kronik-kronik Jawa, dan gelar ini biasanya dapat diterima oleh para
sejarawan.
Bagian yang paling bersejarah
dalam masa Mataram islam ini adalah perlawanannya terhadap kebijakan monopoli
VOC di Batavia (Sunda Kelapa). Sebelumnya kota ini bernama
Fatahillah, kemudian berganti menjadi Jayakarta, pada masa VOC diganti menjadi
Batavia dan setelah merdeka dirubah lagi menjadi Jakarta sampai sekarang ini.
Merebut Batavia dari tangan VOC tidaklah mudah, mengingat jauhnya jarak dari Mataram (Yogyakarta) ke Batavia (Jakarta). Jarak yang harus ditempuh pasukan Mataram selama 90 hari perjalanan. Membutuhkan persiapan yang harus matang. Persediaan logistic pangan dan air minum harus mencukupi. Untuk itu harus membentuk daerah-daerah lumbung pangan bagi tentara Mataram sebelum pertempuran sebenarnya terjadi.
Karawang yang merupakan daerah yang masih hutan belantara dan berawa-rawa rencananya akan dibentuk menjadi lumbung pangan tersebut. Daerah ini pada Abad XV adalah tempat ulama besar Syeikh Hasanudin bin Yusup Idofi dari Champa yang terkenal dengan sebutan Syeikh Quro yang mendukung terhadap perjuangan melawan VOC. Sebagian besar masyarakat Karawang pada masa itu adalah seorang santri yang menjadi petani. Kondisi masyarakat dan geografis Karawang sangat cocok untuk mendukung serangan ke benteng-benteng VOC di Batavia.
Keberadaan daerah Karawang juga telah dikenal sejak Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Daerah Bogor, karena Karawang pada masa itu merupakan jalur lalu lintas yang sangat penting untuk menghubungkan Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan Galuh Pakuan yang berpusat di Daerah Ciamis.
Luas Wilayah Kabupaten Karawang pada saat itu, tidak sama dengan luas Wilayah Kabupaten Karawang pada masa sekarang. Pada waktu itu luas Wilayah Kabupaten Karawang meliputi Bekasi, Purwakarta, Subang dan Karawang sendiri .
Merebut Batavia dari tangan VOC tidaklah mudah, mengingat jauhnya jarak dari Mataram (Yogyakarta) ke Batavia (Jakarta). Jarak yang harus ditempuh pasukan Mataram selama 90 hari perjalanan. Membutuhkan persiapan yang harus matang. Persediaan logistic pangan dan air minum harus mencukupi. Untuk itu harus membentuk daerah-daerah lumbung pangan bagi tentara Mataram sebelum pertempuran sebenarnya terjadi.
Karawang yang merupakan daerah yang masih hutan belantara dan berawa-rawa rencananya akan dibentuk menjadi lumbung pangan tersebut. Daerah ini pada Abad XV adalah tempat ulama besar Syeikh Hasanudin bin Yusup Idofi dari Champa yang terkenal dengan sebutan Syeikh Quro yang mendukung terhadap perjuangan melawan VOC. Sebagian besar masyarakat Karawang pada masa itu adalah seorang santri yang menjadi petani. Kondisi masyarakat dan geografis Karawang sangat cocok untuk mendukung serangan ke benteng-benteng VOC di Batavia.
Keberadaan daerah Karawang juga telah dikenal sejak Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Daerah Bogor, karena Karawang pada masa itu merupakan jalur lalu lintas yang sangat penting untuk menghubungkan Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan Galuh Pakuan yang berpusat di Daerah Ciamis.
Luas Wilayah Kabupaten Karawang pada saat itu, tidak sama dengan luas Wilayah Kabupaten Karawang pada masa sekarang. Pada waktu itu luas Wilayah Kabupaten Karawang meliputi Bekasi, Purwakarta, Subang dan Karawang sendiri .
Setelah Kerajaan PaJajaran runtuh pada tahun 1579 Masehi, pada tahun 1580 Masehi berdiri Kerajaan Sumedanglarang sebagai penerus Kerajaan Pajajaran dengan Rajanya Prabu Geusan Ulun. Kerajaan Islam Sumedanglarang, pusat pemerintahannya di Dayeuhluhur dengan membawahi Sumedang, Galuh, Limbangan,Sukakerta dan Karawang. Pada tahun 1608 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Ranggagempol Kusumahdinata.
Ranggagempol Kusumahdinata sebagai Raja Sumendanglarang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sultan Agung dan mengakui kekuasaan Mataram. Maka pada Tahun 1620, Ranggagempol Kusumahdinata menghadap ke Mataram dan menyerahkan kerajaan Sumedanglarang di bawah naungan Kerajaan Mataram.
Ranggagempol Kusumahdinata oleh Sultan Agung diangkat menjadi Bupati (Wadana) untuk tanah Sunda dengan batas-batas wilayah disebelah Timur Kali Cipamali, disebelah Barat Kali Cisadane, disebelah Utara Laut Jawa, dan disebelah Selatan Laut Kidul.
Pada Tahun 1624 Ranggagempol Kusumahdinata wafat, dan sebagai penggantinya Sultan Agung mengangkat Ranggagede, Putra Prabu Geusan Ulun.
Pada Tahun 1624, Sultan Agung mengutus Surengrono (Aria Wirasaba) dari Mojo Agung, Jawa Timur untuk berangkat ke Karawang dengan membawa 1000 Prajurit dengan keluarganya, dari Mataram melalui Banyumas dengan tujuan untuk membentuk Karawang sebagai pusat logistic pangan sebagai persiapan melawan VOC di Batavia dengan membangun gudang-gudang beras dan meneliti rute penyerangan Mataram ke Batavia.
Langkah awal yang dilakukan Aria Surengrono adalah dengan mendirikan 3 (tiga) Desa yaitu Waringinpitu (Telukjambe), Desa Parakansapi (di Kecamatan Pangkalan yang sekarang telah terendam Waduk Jatiluhur) dan Desa Adiarsa (Sekarang ternlasuk di Kecamatan Karawang Barat), dengan pusat kekuatan di ditempatkan di Desa Waringinpitu.
Karena jauh dan sulitnya hubungan antara Karawang dengan Mataram, Aria Wirasaba belum sempat melaporkan tugas yang sedang dilaksanakan kepada Sultan Agung. Keadaan ini menjadikan Sultan Agung mempunyai angqapan bahwa tuqas yang diberikan kepada Aria Wirasaba gagal dilaksanakan.
Demi menjaga keselamatan
Wilayah Kerajaan Mataram sebelah barat, pada tahun 1628 dan 1629, bala tentara
Kerajaan Mataram diperintahkan Sultan Agung untuk melakukan penyerangan
terhadap VOC (Belanda) di Batavia. Namun serangan ini gagal disebabkan keadaan
medan yang sangat berat. Sultan Agung kemudian menetapkan Daerah Karawang
sebagai pusat logistik yang harus mempunyai pemerintahan sendiri dan langsung
berada dibawah pengawasan Mataram serta harus dipimpin oleh seorang pemimpin
yang cakap dan ahli perang sehingga mampu menggerakkan masyarakat untuk
membangun pesawahan guna mendukung pengadaan logistik dalam rencana penyerangan
kembali terhadap VOC (belanda) di Batavia.
Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa Sari Galuh dengan membawa 1.000 prajurit dengan keluarganya menuju Karawang. Tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang dianggap gagal.
Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya langsung dilaporkan kepada Sultan Agung. Atas keberhasilannya Wiraperbangsa oleh Sultan Agung dianugrahi jabatan Wedana (Setingkat Bupati) di Karawang dan diberi gelar Adipati Kertabumi III serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama "Karosinjang".
Setelah penganugrahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa bermaksud akan segera kembali ke Karawang, namun sebelumnya beliau singgah dahulu ke Galuh untuk menjenguk keluarganya.Atas takdir IIlahi Beliau kemudian wafat saat berada di Galuh.
Setelah Wiraperbangsa Wafat, Jabatan Bupati di Karawang dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada tahun 1633-1677.
Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa Sari Galuh dengan membawa 1.000 prajurit dengan keluarganya menuju Karawang. Tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang dianggap gagal.
Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya langsung dilaporkan kepada Sultan Agung. Atas keberhasilannya Wiraperbangsa oleh Sultan Agung dianugrahi jabatan Wedana (Setingkat Bupati) di Karawang dan diberi gelar Adipati Kertabumi III serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama "Karosinjang".
Setelah penganugrahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa bermaksud akan segera kembali ke Karawang, namun sebelumnya beliau singgah dahulu ke Galuh untuk menjenguk keluarganya.Atas takdir IIlahi Beliau kemudian wafat saat berada di Galuh.
Setelah Wiraperbangsa Wafat, Jabatan Bupati di Karawang dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada tahun 1633-1677.
Pada abad XVII kerajaan
terbesar di Pulau Jawa adalah Mataram, dengan raja yang terkenal yaitu Sultan
Agung Hanyokrokusumo. la tidak menginginkan wilayah Nusantara diduduki atau
dijajah oleh bangsa lain dan ingin mempersatukan Nusantara.
Dalam upaya mengusir VOC yang telah menanamkan kekuasaan di Batavia, Sultan Agung mempersiapkan diri dengan terlebih dahulu menguasai daerah Karawang, untuk dijadikan sebagai basis atau pangkal perjuangan dalam menyerang VOC.
Ranggagede diperintahnya untuk mempersiapkan bala tentara/prajurit dan logistik dengan membuka lahan-Iahan pertanian, yang kemudian berkembang menjadi lumbung padi.
Tanggal 14 September 1633 Masehi, bertepatan dengan tanggal 10 Maulud 1043 Hijriah, Sultan Agung melantik Singaperbangsa sebagai Bupati Karawang yang pertama, sehingga secara tradisi setiap tanggal 10 Maulud diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Karawang.
Berawal dari sejarah tersebut dan perjuangan persiapan proklamasi kemerdekaan RI, Karawang lebih dikenal dengan julukan sebagai kota pangkal perjuangan dan daerah lumbung padi Jawa Barat.
Dalam upaya mengusir VOC yang telah menanamkan kekuasaan di Batavia, Sultan Agung mempersiapkan diri dengan terlebih dahulu menguasai daerah Karawang, untuk dijadikan sebagai basis atau pangkal perjuangan dalam menyerang VOC.
Ranggagede diperintahnya untuk mempersiapkan bala tentara/prajurit dan logistik dengan membuka lahan-Iahan pertanian, yang kemudian berkembang menjadi lumbung padi.
Tanggal 14 September 1633 Masehi, bertepatan dengan tanggal 10 Maulud 1043 Hijriah, Sultan Agung melantik Singaperbangsa sebagai Bupati Karawang yang pertama, sehingga secara tradisi setiap tanggal 10 Maulud diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Karawang.
Berawal dari sejarah tersebut dan perjuangan persiapan proklamasi kemerdekaan RI, Karawang lebih dikenal dengan julukan sebagai kota pangkal perjuangan dan daerah lumbung padi Jawa Barat.
H. Setelah kekalahan Batavia
Sultan Agung pantang menyerah
dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan
pasukan Kerajaan Portugis untuk
bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena
ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah
bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan
para ulama Tembayat yang
berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak
tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil
memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.
Pemberontakan-pemberontakan
masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk
kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan Giri
Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan
penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah
dinikahkan dengan Ratu
Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633.
Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri
tersebut pada tahun 1636.
I. Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton
ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta.
Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan"
(dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan
Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada
masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat
bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi
sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat
Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas
dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680),
sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah
tercemar.
Pengganti Amangkurat II
berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719),
Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai
Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I
(Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan
perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in
exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat
diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi
dua yaitu Kesultanan
Ngayogyakartadan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755.
Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama
diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era
Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian
masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah
"ahli waris" dari Kesultanan Mataram
J. Akhir Kekuasaan
Pada tahun 1636 Sultan
Agung mengirim Pangeran
Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan
Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan
dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat
dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung,
seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram,
kecuali Bataviayang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui
peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantantahun 1622.
Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil
menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas
pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan
sistem-sistem pertanian.
Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan
rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian
besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di
pesisir utara dengan Kalender Saka yang
masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai
upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai
penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra
Gending.
Di lingkungan keraton Mataram,
Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh
para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain.
Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan
sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal
ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang
sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
K. Peristiwa Penting
® Tahun 1558
: Ki Ageng Pemanahan dihadiahi
wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya
mengalahkan Arya Penangsang.
® Tahun 1577
: Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
® Tahun 1584 : Ki
Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkatSutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai
penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena
rumahnya di utara pasar).
® Tahun 1587 : Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu
Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya
selamat.
® Tahun
1588 : Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga
Sayidin Panatagama" artinya PanglimaPerang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
® Tahun 1601
: Panembahan Senopati wafat
dan digantikan putranya, Mas Jolangyang
bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai
"Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa:
krapyak).
® Tahun 1613
: Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo
Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh
kakaknyaRaden Mas Rangsang. Gelar pertama yang
digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita
Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar
"Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau
menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga
Abdurrahman"
® Tahun 1645
: Sultan Agung wafat dan digantikan
putranya SusuhunanAmangkurat I.
® Tahun 1645 - 1677
: Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaanMataram, yang
dimanfaatkan oleh VOC.
® Tahun 1677
: Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I
mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan.
Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai
memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
® Tahun 1681
: Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
® Tahun 1703
: Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan
Amangkurat III.
® Tahun 1704
: Dengan bantuan VOC Pangeran Puger
ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708).
Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
® Tahun 1708
: Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai
wafatnya pada 1734.
® Tahun 1719
: Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan
gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
® Tahun 1726
: Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang
bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
® Tahun 1742
: Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada
dalam pengasingan.
® Tahun 1743
: Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan
pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat
(menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang
biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan
atas bantuan VOC.
® Tahun 1745
: Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian
Bengawan Beton.
® Tahun 1746
: Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang
dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi,
meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10
tahun (1746-1757)
dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
® Tahun 1749 – 11 Desember : Susuhunan
Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun
secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada
® Tahun 1830-12 Desember
: Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku
Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan
Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
® Tahun 1752
: Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi
Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan
Mangkubumi-RM Said.
® Tahun 1754
: Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian.23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota
kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain
meratifikasi nota yang sama.
® Tahun 1755 - 13 Februari
: Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang
membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadiSultan atas Kesultanan
Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng
Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama
Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku
Buwono I.
® Tahun 1757
: Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa
atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaranyang
terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
® Tahun 1788
: Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
® Tahun 1792
: Sultan Hamengku Buwono I wafat.
® Tahun 1795
: KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
® Tahun 1799
: VOC dibubarkan
® Tahun 1813
: Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai
penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku
Alamanyang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar
"Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
® Tahun 1830
: Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan
Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan
tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen
Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta,
dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure
dikuasai oleh Hindia Belanda.
K. Wafatnya Sultan Agung
Menjelang tahun 1645 Sultan
Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman
keluarga raja-rajaKesultanan Mataram mulai
dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra
Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal
dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang
bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar